MARI BERKENALAN DENGAN PENGRAJIN TEMPE


Pernahkah Anda berpikir untuk mengenal lebih dalam mengenai orang-orang dibalik pembuatan tempe? Siapa saja mereka? Apa saja tantangannya?
Pada tahun 2017, sebuah penelitian telah dilaksanakan terhadap 197 pengrajin tempe di Bogor, Semarang dan Medan. Rata-rata para pengrajin telah menjalankan usahanya selama 14 tahun dan sepertiganya menjalankan usaha tempe dikarenakan warisan dari usaha keluarga. Dalam sehari, mereka mengolah kedelai sebagai bahan baku tempe sebanyak 50 – 100 kg. Untuk mengolah kedelai tersebut, para pengrajin mempekerjakan 2 orang pekerja yang mayoritasnya adalah pekerja laki-laki dan masih mempunyai hubungan keluarga dengan pemilik usaha. Ada juga yang mempekerjakan pekerja perempuan yang biasanya bertanggung jawab untuk pengemasan. Para pekerja mendapatkan upah harian, mingguan, atau bulanan. Para pengrajin tersebut umumnya menjual tempe hasil produksinya langsung ke konsumen, misalnya di pasar tradisional, penjual gorengan, ibu rumah tangga, warung, pesantren atau rumah sakit. Metode penjualan langsung memungkinkan para pengrajin untuk mendapatkan uang penjualan secara langsung. Terdapat sebagian pengrajin yang menjual ke pihak ketiga, seperti toko dan minimarket, supermarket, atau industri pangan. Penjualan kepada pihak ketiga memungkinkan pengrajin tempe untuk menjual tempe dalam jumlah besar dan lebih praktis. Selain itu, ada juga pengrajin tempe yang menjual secara langsung dan melalui pihak ketiga karena ingin mendapatkan penjualan dalam jumlah besar dan konsumen yang beragam.
Pengrajin tempe mendapatkan kedelai melalui distributor (72%) atau KOPTI (18%). KOPTI adalah Koperasi Pengrajin Tahu dan Tempe Indonesia. Dua hal penting dalam industri tempe bagi para pengrajin adalah produksi dan pemasaran. Dalam hal produksi, para pengrajin menginginkan peningkatan produksi, perbaikan alat, perbaikan tempat kerja dan perbaikan proses produksi yang higienis dan menghemat waktu dan tenaga. Dalam hal pemasaran, para pengrajin ingin memperluas target pemasaran. Untuk meningkatkan produksi dan pemasaran, para pengrajin memerlukan bantuan kredit, yang dapat diperoleh dari bank, KOPTI, teman/saudara, atau secara berbagi biaya dengan industri pangan mitra. Saat ini telah tersedia peralatan pembuatan tempe yang dapat membantu terjadinya proses produksi yang higienis dan menghemat waktu dan tenaga, misalnya tangki perebusan dari bahan stainless steel yang mudah dioperasikan sehingga menghemat tenaga, mesin giling yang dapat memisahkan kulit ari kedelai, dan alat pengemas tempe secara otomatis.
Tantangan utama yang dihadapi oleh para pengrajn tempe adalah strategi pemasaran (36%), harga kedelai (21.1%), modal (19.9%), cuaca (16.1%), proses produksi (12.4%), peralatan (6.8%), dan lain-lain (21.7%). Oleh karena itu, para pengrajin memerlukan dukungan dalam hal modal (60.4%), teknologi dan peralatan (47.7%), informasi (35%), dan pelatihan (32.5%). Forum Tempe Indonesia (FTI) telah secara konsisten memberikan pelatihan mengenai proses produksi tempe secara higienis kepada para pengrajin tempe di seluruh Indonesia sejak tahun 2014. Tempe yang diproses secara higienis memberikan jaminan keamanan tempe bagi masyarakat. Saat ini semakin banyak tempe yang diproduksi secara higienis tersedia di pasaran.
Disarikan dari: Wiradnyani dkk (2016). Socio-economic challenges and opportunities for tempe industry: A situational analysis in selected cities of Indonesia.